Header Ads

Mengapa Pendidik Perlu Bercerita?

Suatu ketika, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, para sahabat meminta Baginda Rasulullah shallallah 'alaihi wa sallam untuk bercerita. "Wahai Rasulullah, seandainya engkau berkenan bercerita kepada kami," ujar para sahabat.

Tak lama turunlah surat Yusuf. Dalam salah satu ayat pembukanya tepatnya ketiga, "Kami (Allah) menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu. Dan sesungguhnya kamu sebelumnya termasuk orang-orang yang belum mengetahui."

Setelah ayat ini, kisah Nabi Yusuf 'alaihissalam bergulir. Kisahnya dibuka dengan curahan hatinya kepada sang ayah, "Wahai Ayah, di mimpiku aku melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud kepadaku."


Mimpi ini dialami Nabi Yusuf saat masih belia. Ada pendapat menyatakan, usianya masih 12 tahun. Pendapat lainnya menyatakan, 17 tahun.   

Sang ayah, Nabi Ya'qub 'alaihissalam, meresponnya, "Wahai anakku, janganlah engkau menceritakan mimpimu ini kepada saudara-saudaramu. Aku khawatir mereka akan mencelakakanmu." 

Eh, belumlah tahu tentang mimpi Nabi Yusuf, para saudara Nabi Yusuf telah membuat makar untuk mencelakakannya. Bahkan sempat mereka ingin membunuhnya. Akhirnya mereka menceburkannya ke dalam sumur. Sungguh iri dengki telah mengakar kuat di hati mereka. 

Penderitaan Nabi Yusuf dimulai dari titik ini, dan berlangsung bertahun-tahun. Sungguh masa yang berat. Jika orang biasa mungkin tidak akan sanggup menanggung perih serta pedih ini.

Sementara Nabi Yusuf orang yang tegar sekaligus sabar. Prinsip-prinsip yang benar senantiasa digenggamnya. Sampai pada akhirnya ia berhasil melalui semua derita, mencapai sebuah titik sukses, berbalik 180° dari titik semula.

Selain ketegaran dan kesabaran, kebijaksanaan diinspirasikan oleh Nabi Yusuf. Ia tidak meminta jabatan. Akan tetapi ia tahu jabatan apa yang pas dengan dirinya.

Sisi menarik kisah Nabi Yusuf dalam Al-Qur'an, selain semua yang telah disebutkan, adalah keutuhan kisahnya dari awal dari akhir. Pembaca bisa tahu sisi hidupnya, enak dan tidak enaknya, dari masa belia hingga dewasa. Semua ibrah dan hikmah tersaji dengan gamblang.

Dengan demikian kisah Nabi Yusuf bisa dibaca dan dinikmati setiap orang, tua dan muda. Kisahnya juga relevan di banyak kesempatan. Begitu pula sang penutur, lelaki ataupun perempuan, sesuai saja.

Kisah Nabi Yusuf membongkar anggapan bahwa sebuah kisah bisa dinikmati hanya anak-anak. Ternyata orang dewasa sama, menyukai cerita. Realitas modern kemudian memperkuat perihal ini.

Steve Jobs, misalkan, pernah berkata, "Kekuatan presentasiku ada pada cerita. Semua orang suka cerita."

Bahkan penelitian dari K. Y. Lai dkk (2018) menyatakan, cerita bisa membantu orang dewasa bebas dari depresi. Seberapa lamanya mungkin bersifat individual. Begitu pula dengan durasinya. 

Menyadari hal ini hendaklah para pendidik menyuburkan kemampuan bercerita pada dirinya. Bukan sekedar dalam rangka memberi nasehat atau ice breaking, bahkan agar para pendidik mampu menyajikan pembelajaran dalam cerita. Pelajaran apapun berkemungkinan lebih menarik bila disampaikan dengan cerita. 

Sudah beberapa tahun ini di Inggris matematika diajarkan dengan cerita. Math through story telling, demikian kurang lebih istilahnya. Anak-anak terlihat lebih terlibat. Jauh lebih penting anak-anak mampu mengintegrasikan literasi dan numerasinya.

Courtesy of SEAMO QITEP

Prof. Natthapoj V.T. menyampaikan hal tersebut dalam webinar yang diadakan SEAMO QITEP tanggal 2 Mei 2025. Beliau menyebutkan math through story telling bisa diterapkan di kelas berapapun dan materi apapun. Pendidik tinggal mendesain pembelajaran yang relevan.

Menarik, bukan? 

Wallahu a'lam.
Diberdayakan oleh Blogger.