Header Ads

Agar Perintis dan Pewaris dalam Satu Garis

“(Juga) bagi orang-orang fakir yang berhijrah karena diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka (untuk) mencari karunia dari Allah serta keridhaan-Nya, dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin). Mereka (Anshor) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami. Dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

(Terjemah Q.S. Al-Hasyr: 8-10)

 


Tiga ayat tersebut menyampaikan banyak hal. Pertama, ketiga golongan ini merupakan golongan terbaik umat Islam. Kedua, mereka paling diprioritaskan untuk mendapatkan fai (rampasan perang). Ketiga, mereka tidak memiliki kedengkian sedikitpun, baik antargenerasi ataupun antarorang. Amboi, sungguh menawan perihal ini, dasar perikehidupan manusia untuk mencapai keunggulan multidimensi.

Tentu saja apa yang ada pada tiga golongan ini perlu diteladani. Mereka saling menolong untuk mencapai keridhaan Allah ta’ala. Tidak ada keinginan sedikitpun untuk menggapai kejayaan duniawi.

Keteladanan mereka relates dengan isu perintis-pewaris. Jika muhajirin dan anshor perintis, maka generasi ketiga merupakan pewarisnya. Muhajirin dan anshor membangun pondasi peradaban Islam, generasi berikutnya menyempurnakannya.

Ketiga generasi ini seperti mata rantai tidak terputus, saling berhubungan. Bukan hanya jasadiyah dan aqliyah, lebih jauh ruhiyah mereka terhubung. Ada perasaan bersih dari iri dengki yang kemudian mewujud dalam doa generasi penerus.

Muhajirin dan anshor tidak terlihat sama sekali membanggakan diri sebagai perintis. Bahkan mereka bekerja keras untuk membangun ruhiyah mereka agar mengimbas ke generasi berikutnya. Di sisi lain para pewaris juga tidak terlihat mengeluh atas kekurangan yang mungkin ikut terwariskan. Akan tetapi para pewaris mendoakan dengan tulus. Para pewaris menunjukkan kecintaan kepada para perintis sekaligus keridhaan atas hasil jerih payah generasi pendahulunya.

Ada semangat ta’awun yang terlihat jelas. Bahwa apa yang sudah dirintis senantiasa diupayakan untuk lebih baik, lebih sempurna, lebih menjawab tantangan zaman. Bahwa apa yang dirintis perlu terus hidup dan memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan manusia.

Perlu dimaklumi jika ada ikhtilaf antargenerasi. Mungkin generasi perintis menilai satu hal tidak boleh diubah, tapi generasi pewaris menilai sebaliknya. Dalam hal ini dialog mendalam diperlukan.

Antargenerasi duduk bersama untuk menggali idealitas dari berbagai segi. Nilai-nilai spiritual, mutiara pemikiran para perintis, serta perjalanan historis menjadi sumber-sumber utama. Semakin lengkap jika konteks waktu dan tempat diperhatikan.

Selanjutnya setelah diperoleh hal-hal mendasar yang bersifat permanen, proyeksi masa kini dan masa depan dilakukan. Bagaimana hal-hal mendasar nan permanen tersebut mampu terus memberikan kontribusi terhadap kehidupan manusia. Bagaimana terus ada generasi pelanjut yang semangatnya sama dengan perintis, bahkan melebihi.

Tentu dialog antargenerasi bukan pekerjaan sebentar. Waktunya bisa jadi amat lama. Yang paling penting, sebagaimana telah disampaikan, adalah adanya kemurnian ruhiyah. Antargenerasi tidaklah saling berbangga. Sebaliknya antargenerasi berusaha saling memberi, saling menghormati, dan mengasihi.

Jauh lebih baik jika kemudian ada muhasabah diri. Para perintis perlu menyadari bahwa perintis sebenar-benarnya adalah Adam ‘alaihissalam. Para perintis hanya meneruskan kiprah Adam ‘alaihissalam dalam membangun peradaban berkebaikan.

Dari pemahaman ini para perintis diharapkan sadar bahwa para pewaris berkemungkinan menjadi perintis kebaikan berikutnya. Sesuatu mungkin belum pernah ada di zaman perintisan, tapi menjadi ada di era pewarisan. Selanjutnya sesuatu ini menjadi pijakan penting bagi pengembangan berkelanjutan di masa depan.

Sementara para pewaris perlu menyadari bahwa para perintis tetaplah utama. Mendoakan mereka merupakan kewajiban, sebagaimana memuliakan mereka merupakan kebaikan. Tentu saja semuanya dilakukan sesuai kemampuan.

Para pewaris memiliki mindset, para perintis merupakan generasi pilihan Allah ta’ala. Mindset ini diharapkan menjadi bahan bakar semangat untuk terus berbuat baik, meneruskan kebaikan yang telah ada. Agar ada transformasi menuju kebaikan berderajat lebih tinggi.

Lompatan-lompatan diimpikan setiap generasi. Sebagaimana telah disampaikan, kuncinya pada kebersihan ruhiyah. Oleh karena itu, jika ada satu aktivitas yang tidak boleh berhenti, tercatatlah satu sebagai prioritas utama: Merawat kebersihan ruhiyah.

Wallahu a’lam.  

Diberdayakan oleh Blogger.