Lingkungan Rumah Kaya Sumber Belajar
Rumah
tempat utama seorang anak tumbuh dan berkembang. Ia menyerap banyak informasi
dari rumah. Dengan bimbingan orangtua, ia juga menata pengetahuan dalam
pikirannya. Sejumlah prinsip hidup juga didapatkannya dari rumah.
Oleh
karena itu hendaklah rumah memberikan lingkungan kaya belajar. Seluruh indera
anak dilibatkan dalam menyerap berbagai pengetahuan sebagai modal belajar.
Emosi dan spiritualnya juga dibangun. Ia mendapatkan banyak bimbingan untuk
nyaman sekaligus memberikan kenyamanan kepada orang lain.
Sebagaimana diketahui, lingkungan kaya belajar terdiri dari berbagai unsur: Fisik, spiritual, emosional, sosial, dan intelektual. Rumah yang baik memberikan pengalaman belajar kepada anak lewat berbagai lingkungan. Tidak harus mahal. Karena sejatinya lingkungan kaya sumber belajar tidak mensyaratkan harga.
Link berkaitan: https://www.dpwhidayatullahdiyjatengbagsel.org/2024/10/lingkungan-kaya-sumber-belajar-yang.html
Pertama,
lingkungan fisik. Lingkungan fisik memberikan pengetahuan lewat panca indera:
Penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, peraba. Kesemuanya penting untuk
diberikan modal belajar. Dalam redaksi lain, kelima indera perlu diberikan
stimulus belajar.
Indera
masing-masing distimulus dengan situasi yang ada. Sekali lagi, tak perlu
pengadaan sesuatu yang mahal. Apa saja yang ada di rumah sudah cukup.
Yang penting adalah ‘menghidupkan lingkungan’. Orangtua dan anak berdialog
tentang lingkungan rumah. Misalkan cat rumah, orangtua dan anak diharapkan
berdialog tentang apa warna cat rumah, mengapa memilih warna tersebut, apakah
termasuk warna tunggal atau campuran.
Dialog
ini berharga. Karena dialog pintu pengetahuan dan prinsip hidup. Dengan merasakan
pencerahan lewat dialog, diharapkan anak membangun pengetahuan dasar dan
prinsip hidupnya.
Selanjutnya
sang anak membawa pengetahuan yang dimilikinya ke komunitas yang lebih luas.
Pengetahuannya akan diuji. Saat terjadi antitesa, semoga anak tidak patah
arang. Tetapi anak mampu membangun sintesis baru.
Sintesis baru ini perlu dibantu orangtua dan guru. Kedua pihak bekerjasama. Agar pengetahuan anak sebelumnya memiliki makna. Semoga tertanam pada diri anak bahwa belajar bisa berkelanjutan, dimanapun tak masalah.
Bukan
hanya penglihatan, sebagaimana telah disampaikan, indera lain juga perlu
distimulus. Pendengaran, pembau, pencium, dan peraba distimulus sesuai
fungsinya. Orangtua bebas, mengalirkan stimulus apa adanya atau dengan
perencanaan. Asalkan ada dialog untuk anak membangun pengetahuannya.
Kedua,
lingkungan spiritual. Anak diantarkan cinta ibadah. Bukan hanya ibadah yang
sifatnya munajat, tapi anak juga cinta ibadah yang sifatnya adab.
Kunci
utamanya, selain pembiasaan dan teladan, kembali pada dialog. Anak diantarkan
untuk menyadari betapa pentingnya ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam
dialog, anak dikenalkan kepada Allah ta’ala. Betapa kasih sayang-Nya
demikian besar kepada segenap makhluk-Nya.
Di
dalam dialog juga, anak dikenalkan kepada Baginda Rasulullah shallallah
‘alaih wa sallam. Betapa Baginda teladan mulia. Betapa beliau berusaha kuat
agar umat manusia mengenal Islam.
Hal
lain yang melengkapi dialog adalah apresiasi. Setiap kali anak melakukan
kebaikan hendaklah orangtua memberikan apresiasi. Sekecil apapun kebaikan anak,
orangtua mengapresiasi.
Apresiasi,
sebagaimana diketahui, merupakan tabungan emosi. Jika anak terus mendapatkan
apresiasi, tabungan emosinya semakin banyak. Saat ada konflik antara orangtua
dengan anak terkait ibadah, tabungan emosi diharapkan bisa menjaga stabilitas
emosi anak. Anak tetap stabil, tidak meninggalkan ibadah begitu saja.
Apresiasi
ini merupakan arahan Allah ta’ala. Dalam sejumlah ayat, perihal ini
dapat dibaca. Semisal pada Al-Qur’an surat Al-Zalzalah ayat 7-8. Setiap
kebaikan akan mendapat balasan, keburukan juga sama.
Link berkaitan: https://www.dpwhidayatullahdiyjatengbagsel.org/search?q=apresiasi
Apresiasi,
selain membangun lingkungan spiritual anak secara positif, juga membangun
lingkungan emosi. Anak menjadi paham bahwa kebaikan membawakan rasa nyaman.
Semoga anak terinspirasi untuk juga berbuat baik kepada orang lain. Mindset
ini penting dalam membangun pertemananan.
Masih
berkaitan dengan lingkungan emosi adalah pengenalan emosi. Anak perlu merasakan
emosi yang sedang dirasakan. Karena emosi sering bercampur dengan satu emosi
dominan. Anak perlu dilatih untuk mengenali emosi ini dan menyikapinya dengan
efektif. Sehingga ekspresi yang dikeluarkannya masih membuat nyaman dirinya
serta orang di sekitar.
Emosi
yang dimaksud tidak terbatas emosi negatif tapi juga positif. Saat sedih atau
marah, anak bisa mengendalikan. Begitu juga saat gembira, anak bisa pula
mengendalikan. Anak mampu mengukur ekspresi emosinya agar tidak mengganggu
situasi emosi orang lain.
Teladan
pengelolaan emosi orangtua sangat penting. Anak belajar bagaimana mengelola
emosi dari orangtua. Dalam hal ini kiranya orangtua terus belajar mengelola
emosi, agar terus stabil. Naik turun emosi orangtua yang berlebihan
dikhawatirkan membuat anak bingung. Ibarat kapal, anak terombang-ambing oleh
gelombang dari emosi orangtua. Anak relatif sullit untuk nyaman. Akhirnya
prestasi sulit dicapai.
Bisa
dikatakan situasi emosi orangtua fondasi untuk lingkungan sosial dan
intelektual. Saat orangtua mampu menjaga stabilitas emosi, anak dimungkinkan
nyaman. Sehingga ia kemudian mampu membangun keterampilan sosialnya dengan
baik. Ia belajar memaafkan sekaligus meminta maaf. Ia belajar membuat nyaman
orang lain. Ia belajar untuk menyayangi tanpa menyakiti.
Di
lingkungan intelektual, anak belajar dengan lebih fokus. Suara-suara bentakan,
misalnya, minim. Begitu juga benda-benda tertata baik, tidak berantakan karena
kemarahan.
Jika
berkemampuan, orangtua dapat membelikan buku untuk anak. Sedari bayi, anak
sudah dikenalkan dengan buku. Tentu bukunya disesuaikan. Jika anak mulai besar,
bukunya kembali disesuaikan. Begitu seterusnya.
Mungkin
anak tidak segera menampilkan keterampilan intelektualnya. Akan tetapi stimulus
perlu terus diberikan. Semoga dengan dialog berkelanjutan antara orangtua dengan
anak, keterampilan intelektualnya terbangun. Hingga pada suatu waktu, di satu usia,
sang anak mampu menunjukkan keterampilan intelektualnya dengan mengesankan.
Selain
buku, orangtua juga dapat menyediakan teks multimodal sebagai lingkungan
belajar anak. Tayangan video di internet salah satu bahan dialog orangtua
dengan anak. Plang rambu-rambu sekitar rumah juga bisa.
Uang salah
satu bahan dialog penting. Orangtua bisa mengajukan satu dua kasus. Misalkan
saat uang pecahan Rp100.000,00 ditukar dengan lima lembar uang pecahan
Rp20.000,00, anak bisa ditanya apakah hal tersebut adil.
Konteks
lain adalah olahraga ketangkasan. Penting bagi orangtua melatihkan ketangkasan
pada anak. Bagaimana otak dan otot gerak berpadu simultan untuk menghasilkan
respon.
Sebagai
penutup, tetaplah dianjurkan agar orangtua memberikan stimulus kepada anak
selama tinggal di rumah. Tidak ada batasan usia. Selain itu bagus jika orangtua
bekerja sama dengan sekolah. Khusus untuk anak yang studi berasrama, orangtua
perlu mengondisikan rumah sebagaimana asrama. Agar proses pendidikan terus
berlangsung.
Wallahu a’lam.
Post a Comment