Header Ads

Kemandirian Yang Utuh

Seorang ayah masih sabar menghadapi anak lelakinya yang belum kunjung berani tidur sendiri, padahal sang anak lelaki mulai beranjak remaja. Untungnya sang anak lelaki mau tidur sendiri asal lampu dinyalakan. Akan tetapi, agar sesuai sunnah Rasulullah shallallah ‘alaih wa sallam, kadang-kadang sang ayah mematikan lampu jelang tidur dengan resiko menemani tidur sang anak.

Sang ayah tahu satu rahasia, kesendirian itu tidak ringan. Padahal kesendirian salah satu pilar kemandirian. Sementara kemandirian tidak hanya berlaku di dunia, bahkan di akhirat. Justru di akhirat, kemandirian jauh lebih berat.

Ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an, tepatnya di surat Al-An'am ayat 94, “Dan sesungguhnya kalian datang kepada Kami (Allah) sendiri-sendiri sebagaimana kalian telah Kami ciptakan pada mulanya."

Sekilas ayat ini terkesan biasa. Akan tetapi ada sesuatu yang sangat dalam. ‘Datang sendiri-sendiri’ berarti setiap orang nantinya akan menyampaikan tanggung jawab atas perbuatan masing-masing. Tidak bisa seseorang mengelak, tidak bisa melempar tanggung jawab kepada pihak lain.

Saat itu setiap orang benar-benar dikondisikan untuk mandiri, berdiri dengan amalnya sendiri. Jika pun orang lain bisa menolong, itu karena izin Allah subhanahu wa ta’ala. Syarat dan ketentuan berlaku. Salah satunya pihak yang ditolong haruslah seorang muslim, masih menjalankan Rukun Islam semasa hidupnya.

Di sisi lain seseorang diperkenankan melakukan tuntutan. Misalkan tuntutan anak kepada orangtua karena merasa tidak pernah diajari agama. Maka sang orangtua akan disidang. Jika tuntutan terbukti benar, sang orangtua menanggung dosa sang anak pula. Sebaliknya jika tidak terbukti benar, sang orangtua bebas. Dosa sang anak tidak membebani dirinya.

Kemandirian seorang anak perlu ditumbuhkan dan dirawat, ditumbuhkan dengan doa serta nasehat, dirawat dengan pendampingan. Waktunya bisa lama, bisa sebentar. Setiap anak sangat mungkin berbeda.

Ketidaksadaran dan ketidaksabaran orangtua dapat berdampak buruk pada kemandirian anak. Sang anak mungkin terlihat kuat tapi sebenarnya rapuh. Saat dewasa nanti potensi ketergantungan kepada pihak lain bisa sangat besar. Jika ia berada di lingkungan baik, insya Allah masih ada waktu untuknya memperbaiki diri. Sebaliknya jika berada di lingkungan buruk, ia dimungkinkan mengalami sakit pada jiwa. Ucapan dan tingkah laku buruk lingkungan sekitar membuatnya tersiksa namun tak mampu untuk lari menyelamatkan diri.

Ia berpotensi pula tidak memiliki pendirian. Ia ikut arus besar saja. Karena ia terlalu takut untuk ditinggalkan oleh komunitasnya.

Dikarenakan sulit membangun pendirian, ia pun sulit membangun kerangka berpikir mandiri. Sulit baginya menjadi sosok progresif. Kesiapan berbeda pendapat tidak ada pada dirinya. .

Sangat mungkin orangtua membangun kemandirian anak berorientasi duniawi belaka. Ambil contoh, orangtua mengajari anak terampil dan mandiri dalam mengelola keuangan. Akan tetapi ada resiko ketidakutuhan. Sisi ruhiyah anak tidak disentuh. Padahal sisi ruhiyah memberi dasar yang kokoh untuk anak membuat keputusan dalam kehidupannya. 

Sisi ruhiyah juga memberikan orientasi kehidupan. Jika orientasinya salah, maka hidup di masa depan berpotensi rusak, baik masa depan di dunia ataupun akhirat. Penderitaan yang ditanggung, duhai, tidak ringan.

Hendaklah, sebagai penutup, orangtua mempertimbangkan kebaikan di akhirat. Karena kebaikan di akhirat memberikan banyak inspirasi tentang keunggulan apa saja yang perlu dimiliki untuk sukses dunia dan akhirat. Tidak bisa dipisahkan, sukses di dunia dan akhirat. Sukses akhirat harus digambarkan terlebih dahulu lalu dijadikan dasar untuk membangun kesuksesan di dunia. Demikianlah cara pandang yang benar.

Wallah a’lam.

Diberdayakan oleh Blogger.