Pentingnya Budaya Tabayyun dalam Pendidikan
"Pak, temanku mencoret lukisanku," lapor seorang murid kepada gurunya.
"Balas coret!" perintah sang guru.
Demikian sepenggal percakapan yang cukup viral di media sosial. Seorang murid SD melapor kepada gurunya, lalu saat itu juga sang guru memerintahkan sang murid untuk membalas dengan coretan yang sama. Terasa ada yang janggal.
Pertama, tidak ada tabayyun (konfirmasi) dari sang guru kepada sang murid dan murid lain yang mencoret. Kedua, haruskah ada pembalasan? Mungkin ada cara lain untuk mendamaikan? Ketiga, haruskah guru memberikan perintah dengan nada tinggi seperti itu? Mungkin ada nada yang lebih lembut?
Sang guru mungkin sedang lelah. Begitu banyak masalah yang mendera beliau. Di sisi lain, semoga paparan berikut memberikan gambaran tentang pentingnya konfirmasi dalam pendidikan.
“Hai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepada kalian membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” (Terjemah Q.S. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini memberikan arahan bahwa sebuah berita perlu dikonfirmasi, benar atau tidaknya. Jika benar, maka pemeriksaan akurasi berita masih diperlukan, seberapa benar. Bisa jadi kebenarannya masih bercampur dengan keragu-raguan.
Memang orang fasik yang disebutkan dalam ayat ini. Akan tetapi orang baik, bahkan yang dicintai, masih perlu dikonfirmasi saat membawa berita. Kewaspadaan masih diperlukan. Karena kerapkali orang baik atau dicintai diyakini tidak membawa kebohongan. Dalam hal ini kebohongan mungkin tidak ada, tetapi peluang kesalahan masih terbuka. Nah konfirmasi diperlukan untuk meminimalisir kesalahan.
Di situasi yang lebih kompleks seperti saat ini, konfirmasi jauh lebih diperlukan. Limpahan data dan algoritma viral berpotensi menumpulkan logika. Sebagian orang tidak sanggup mengurai tumpukan data. Jangankan mengurai, sekedar berhadapan dengan tumpukan data, sebagian orang menyerah sebegitu cepatnya.
Ketidakmampuan menghadapi tumpukan data berpotensi terjerumus pada dua hal: Akurasi berita yang rendah dan jalan pintas kesimpulan. Ujungnya sama, yakni kesalahan pemahaman dan tindak lanjut.
Dalam konfirmasi, sejumlah hal diperlukan. Ketahanan, kejelian, kejujuran, serta motivasi tinggi, beberapa yang bisa disebutkan. Oleh karena itu konfirmasi hanya akan efektif jika seseorang memiliki kualitas intelektual dan emosi yang baik. Maka kembali persoalan yang perlu diungkapkan adalah kualitas pendidikan, terutama pendidik: Apakah mampu melahirkan insan berkualitas seperti itu?
Sekarang marilah menengok sejarah para ulama hadits. Beliau-beliau sangat handal dalam hal konfirmasi. Satu berita yang datang tidak langsung diikuti begitu saja. Ada proses konfirmasi terlebih dahulu sebelum kesimpulan diambil.
Sistematika konfirmasi yang beliau-beliau miliki sedemikian kokoh. Buahnya berupa metodologi dan hasil kerja intelektual yang mengagumkan. Hingga saat ini keduanya menjadi panduan ilmiah sekaligus ibadah umat Islam.
Mundur lagi ke belakang, sejarah penulisan Al-Qur'an menjadi contoh konfirmasi ilmiah yang baik. Bahwa para kurator menyeleksi lalu mengumpulkan ayat demi ayat Al-Qur'an dari para penghafalnya. Salah satu kurator, Zaid bin Tsabit radhiyallah 'anh, benar-benar menunjukkan kinerja intelektual yang sangat luar biasa.
Oleh karena itu apa yang telah dilakukan para ulama perlu menjadi inspirasi. Bahwa kerja intelektual itu sangat mungkin menggapai akurasi tinggi. Di masa berikutnya kerja intelektual ini bisa terus bermanfaat sekaligus menjadi mata air akademis yang tidak pernah usang, berlaku di semua bidang ilmu.
Sebagai kesimpulan, marilah sebuah keyakinan ditumbuhsuburkan bahwa adab-adab Islami akan memberikan pengaruh signifikan bagi perkembangan anak. Saat adab Islami ditegakkan, di sekolah atau rumah, kebaikan-kebaikan akan diserap anak. Selanjutnya kebaikan-kebaikan itu membentuk konsep dirinya. Berikutnya semoga jalan sukses terhampar lebih mudah.
Wallah a’lam.
Post a Comment