Antara Jago Teori dengan Aplikasi
Courtesy of Wau Animation
Ejen Ali bercerita tentang Ali, seorang anak yang diangkat menjadi mata-mata (agen, ejen). Sebenarnya Ali tidak memiliki kapasitas menjadi mata-mata. Hanya Ali memiliki satu keistimewaan yang tidak dimiliki anak-anak lain, bahkan satu dunia.
Alya, ibu Ali, sebelumnya mata-mata juga. Dia menciptakan sebuah senjata berbentuk kacamata bernama Iris (baca: Airis). Iris memiliki override mode yang memungkinkan pengguna Iris mengendalikan robot dan teknologi komputasi lainnya.
Setelah Alya wafat, Iris tidak bisa digunakan oleh orang lain. Pimpinan mata-mata sudah mengotak-atiknya, tapi tetap Iris tidak bisa digunakan orang lain. Iris hanya bisa digunakan oleh keturunan Alya. Sementara Alya hanya memiliki satu keturunan: Ali.
Inilah satu-satunya keistimewaan Ali untuk kemudian membuatnya direkrut sebagai mata-mata. Harapannya Iris bisa terus digunakan, juga sistem kodenya bisa dipecahkan. Sehingga Iris tidak hanya bisa digunakan tapi bahkan diperbanyak.
Nah karena mata-mata pemula, Ali harus belajar di akademi khusus mata-mata. Di sini ia bertemu dengan banyak teman. Tentu saja ada mentor, tepatnya tiga orang mentor: Ejen Leon, Ejen Karya, dan Ejen Greetha.
Ada sisi menarik dari tiga ejen yang menjadi mentor ini. Mereka penuh disiplin bahkan terkesan galak kepada para ejen junior. Sering teguran keras diberikan oleh mereka.
Di sisi lain mereka bertiga hampir selalu kalah jika ada pertarungan dengan musuh. Bahkan dalam sejumlah pertarungan, mereka terluka berat. Dari kenyataan ini ada satu kritik: Layakkah mata-mata yang terus-menerus kalah menjadi mentor bagi para yunior? Lebih jauh layakkah seseorang menjadi pendidik jika kemampuan yang dimilikinya tidak mampu menyelesaikan tantangan di kehidupan nyata?
Kritik ini kemudian membangkitkan pertanyaan yang lebih dalam: Apa indikasi seseorang dikatakan berilmu? Apakah seseorang yang paham cukup dikatakan sebagai berilmu? Apa juga indikasi dari suatu kepahaman?
Ada banyak jawaban yang bisa diajukan. Akan tetapi marilah membahas dimensi manusia terlebih dulu, minimal dua dimensinya: Jasmani dan ruhani.
Jasmani manusia terdiri dari banyak bagian kompleks. Paling luar ada organ kulit, alat gerak, dan panca indera. Jauh lebih dalam ada sistem pernafasan, darah, dan saraf.
Ruhani manusia bisa dikatakan lebih kompleks lagi. Ada sisi spiritualitas, emosionalitas, dan intelektualitas. Ketiga sisi itu masih memiliki cabangan derivatif yang banyak, sangat kompleks.
Oleh karena itu ikhtiar meresapkan ilmu ke dalam seluruh bagian diri manusia secara simultan merupakan perkara tidak sederhana. Setali dua uang, mengukur pemahaman dengan mempertimbangkan kesemua bagian juga sulit. Satu yang kemudian bisa dilakukan: Menempatkan pemahaman dalam dimensi-dimensi diri manusia.
Ada orang yang paham teori dan mampu menceritakan teori dengan baik. Orang lain mampu menyerap lalu mengembangkannya dalam berbagai aplikasi. Aplikasi-aplikasi tersebut selanjutnya menjadi teori baru yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.
Di sisi lain ada orang yang paham aplikasi, namun tidak mampu memformulasi sebuah teori. Akibatnya suatu aplikasi mungkin solutif di satu tempat, tapi tidak di tempat lain. Tidak terlihat pula celah untuk memodifikasi aplikasi ini agar solutif di tempat lain. Macet, itu kata akhirnya.
Dengan demikian, benar jika dikatakan bahwa idealnya seseorang bisa memahami ilmu dan menggunakannya sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah realitas kehidupan. Akan tetapi dapat ditoleransi untuk seseorang lebih condong kepada salah satu bagian, teoritisasi atau aplikasinya. Karena bagaimanapun manusia memiliki keterbatasan.
Selain internal, mungkin ada keterbatasan eksternal. Misalkan seseorang tidak punya waktu untuk mengembangkan aplikasi ilmu karena padat mengajar sebagaimana ketiga mentor mata-mata tersebut. Sebaliknya ada orang yang asyik dengan aplikasi, tidak memiliki waktu dan kemampuan formulasi teori. Pun orang tipikal ini biasanya tidak memiliki keterampilan untuk menumbuhkan talent-talent baru.
Demikianlah manusia punya kekurangan masing-masing. Di sinilah ada harapan untuk sinergi. Satu sama lain saling membantu menuju kebaikan kehidupan manusia.
Wallah a'lam.
Post a Comment