Dua Balasan Perbuatan Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan
Allah ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 10, “Di dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakit mereka. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
Ayat ini turun kepada orang-orang
munafik terkait kemunafikan mereka. Para ahli tafsir sepakat bahwa penyakit
sebagaimana disebutkan dalam ayat ini bukanlah penyakit fisik tapi ruhani, tepatnya
mereka senantiasa ragu untuk beriman. Di sisi lain mereka tidak berusaha
mencari kebenaran, malah membuat kerusakan serta masalah. Salah satunya dengan
mengolok-olok orang beriman sebagai orang bodoh.
Disebabkan apa yang mereka lakukan,
Allah ta’ala tambahkan keraguan pada hati mereka. Sehingga mereka
semakin ragu untuk beriman. Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya
menjelaskan, “Demikianlah bahwa hukuman maksiat adalah maksiat berikutnya.”
Sebagai penguat penafsiran, Ibnu
Katsir rahimahullah kemudian menyitir Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 125,
“Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan
surat itu bertambah kekafiran mereka disamping kekafirannya (yang telah ada)
dan mereka mati dalam keadaan kafir.”
Penafsiran tersebut diperkuat Al-Qur’an
surat Maryam ayat 76, “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang
telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.”
Senada dengan Ibnu Katsir rahimahullah,
Ash-Shabuny rahimahullah dalam tafsirnya juga menandaskan penafsiran yang
kurang lebih sama, “Di dalam hati mereka ada keraguan dan kemunafikan. Maka
Allah menambahkan dosa di atas dosa mereka, serta kegelapan di atas kegelapan
mereka.”
Dapat dipahami dari kedua ahli
tafsir tersebut bahwa saat seorang hamba berbuat satu kebaikan, Allah ta’ala
akan memberikan dua balasan. Balasan pertama berbentuk pahala. Balasan kedua
berbentuk keinginan/dorongan untuk berbuat baik di waktu berikutnya. Sebaliknya
saat seorang hamba melakukan maksiat, maka ada dua balasan. Balasan pertama
berbentuk dosa. Sedangkan balasan kedua berbentuk keinginan/dorongan untuk
berbuat maksiat di waktu berikutnya.
Pemahaman ini menjadi penting bagi
pendidik. Pertama, sangat penting bagi pendidik untuk mencegah muridnya berbuat
maksiat. Karena sebagaimana telah disampaikan, maksiat dalam berbuah maksiat
berikutnya. Jika dibiarkan, maka murid akan terus berkubang dalam maksiat.
Sulit baginya untuk keluar.
Ketiga, seorang pendidik perlu
memiliki mindset bahwa kesalahan sekecil apapun yang dilakukan murid
tidak bisa diabaikan. Dengan teknik komunikasi yang afirmatif, pendidik
mengingatkan murid bahwa kesalahan telah dilakukan. Berikutnya sang murid perlu
bersikap dan berbuat lebih baik. Pengabaian terhadap kesalahan jika
terus-menerus berpotensi menyebabkan hilangnya kepekaan. Resikonya perbuatan
salah menjadi biasa. Di tingkatan berikutnya, dikhawatirkan dosa menjadi
sesuatu yang biasa dilakukan. Pihak yang mengingatkan malah dianggap sebagai
pengacau.
Keempat, seorang pendidik diharapkan
untuk mengondisikan dan mendorong murid untuk banyak berbuat baik sekecil
apapun. Agar sang murid bisa mendapatkan balasan berupa pahala sekaligus
dorongan berbuat baik berikutnya. Lebih jauh pengondisian murid untuk berbuat
baik bisa dijadikan terapi untuk anak meningkatkan kualitas akhlaknya. Sang murid
bisa dituntun setahap demi setahap untuk terus berbuat baik. Sehingga berbuat
baik mendarah daging pada dirinya.
Kelima, seorang pendidik perlu
menghidupkan apresiasi. Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan murid, sang
pendidik memberikan apresiasi walaupun hanya jempol dan ucapan hamdalah. Karena
apresiasi merupakan respon positif atas kebaikan murid. Sementara seorang
manusia berkecenderungan senang saat mendapat respon positif. Ia kemudian
berkeinginan berbuat baik lagi, agar situasi sekitarnya positif. Demikian salah
satu pemahaman dari firman Allah ta’ala dalam Al-Qur’an surat Al-Zalzalah
ayat 7, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)-nya.”
Sebagai penutup, kiranya setiap
muslim memahami dan menyadari bahwa berbuat baik berpotensi menjadi titik awal memperoleh
hidayah Allah ta’ala. Dengan terus seorang muslim mengupayakan berbuat
baik, semoga terus juga Allah ta’ala memberikan kepadanya karunia untuk
senang berbuat baik di saat berikutnya. Begitu seterusnya hingga Allah ta’ala
menetapkannya sebagai kekasih-Nya. Wallahu a’lam.
Post a Comment