Prioritas Pendidikan dalam Keluarga Muslim sebagai Basis Ketahanan Pendidikan Nasional (Catatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2025)
“Wahai orang-orang beriman, jagalah diri kalian dan
keluarga kalian dari siksa api neraka.” (Terjemah Q.S. At-Tahrim: 6)
Ayat ini ditujukan kepada para ayah selaku pemimpin
keluarga. Bahwa ujung dari segala ikhtiar ada pada penyelamatan keluarga dari
siksa api neraka. Otomatis jika selamat dari siksa api neraka, surga dermaga
terakhirnya. Sehingga dapat dikatakan perintah dalam ayat ini berimplikasi
dobel, selamat dari neraka lanjut bahagia di surga.
Oleh karena itu persoalan menjaga keluarga dari
hal-hal yang mengantarkan ke neraka memiliki sifat yang sangat penting. Para ayah
wajib mengetahuinya. Selanjutnya para ayah perlu untuk menerapkannya dalam
keluarga.
Persoalan yang kerapkali muncul adalah anggapan betapa
ngerinya bicara neraka, terutama kepada anak-anak yang dinilai masih belum bisa
diajak dialog. Kengerian ini dianggap bisa menjebak anak-anak kepada ketakutan,
lebih jauh pada anggapan bahwa Allah ta’ala tidaklah Maha Pengasih dan Penyayang.
Sehingga kemudian secara tidak sadar, reduksi terjadi. Perbincangan tentang neraka
diminimalkan, sementara tentang surga terus ditingkatkan. Sehingga secara tidak
sadar, ada toleransi-toleransi atas sejumlah perkara yang membahayakan. Berikut
tiga di antaranya.
Pertama, ayah tidak mengenali potensi keburukan dalam
tahap perkembangan anak. Al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 20 menyampaikan, “Ketahuilah
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang
melalaikan, perhiasan, bermegah-megah di antara kalian, serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak.”
Tadabbur ayat ini menggambarkan bahwa anak-anak akan
cenderung bermain-main di usianya sehingga mungkin lupa belajar. Begitu pula
para remaja akan cenderung melalaikan kewajiban taklif karena bersenang-senang
dengan teman sebayanya. Sementara di usia dewasa awal, orang-orang akan
cenderung berhias dan ingin dikenali secara kebaikan fisik. Di usia yang lebih
tua, akan ada persaingan gengsi dan juga jumlah harta benda.
Ayah yang peka dengan potensi keburukan akan belajar
tahap perkembangan. Bagaimana potensi-potensi keburukan ini berkurang, atau
jika mungkin ditransformasikan menjadi energi kebaikan. Bagaimana misalnya anak
bisa belajar dalam permainan, remaja bisa amanah dalam menjalani taklif dengan
terus bersosialisasi dengan sebaya, dan seterusnya, seterusnya.
Kedua, ayah tidak mengenali potensi keburukan di balik
kebaikan. Hadits riwayat Muslim menyampaikan bahwa seorang mujahid, alim, dan
dermawan disiksa karena salah niat. Padahal amal mereka luar biasa.
Selain itu sejarah membuktikan betapa banyak orang
yang awalnya lurus kemudian berbelok dalam keburukan. Sebagiannya bahkan tidak
diberikan kesempatan taubat, sebagaimana dapat dibaca dalam sejarah Bani
Israil. Sungguh menyedihkan, perjalanan hidup yang telah baik akhirnya berbelok
dan meluncur ke dalam keburukan yang sangat dalam.
Dalam hal ini kiranya ayah belajar untuk menjaga
istiqomah. Bahwa istiqomah tidak sekedar konsisten. Akan tetapi istiqomah
berarti memperbesar kapasitas amal seiring perjalanan waktu. Oleh karena itu
ada tuntutan untuk memperbesar kapasitas diri terus-menerus. Ada perbandingan
lurus antara tuntutan untuk memperbesar kapasitas amal dengan kapasitas diri.
Sehingga jalan istiqomah bisa ditapaki dengan relatif mudah.
Kapasitas diri yang dimaksud bukan sekedar
intelektual. Akan tetapi kapasitas diri dalam konteks yang utuh lagi imbang.
Bahwa intelektual, spiritual, emosial, sosial, finansial, dan fisik terus
mendapat stimulus untuk tumbuh. Mungkin intensitas stimulusnya tidak sama. Akan
tetapi semua ranah mendapatkannya.
Dengan demikian semoga pengembangan kapasitas diri
bisa terus berjalan. Amalan terus bertambah, kuantitatif dan kualitatifnya. Di akhir
kehidupan yang terlihat hanya kebaikan demi kebaikan saja.
Mendidikkan istiqomah tentu memperhatikan jenjang
usia. Setiap usia memiliki karakteristik khas, komunikasi dan pola
pendidikannya. Ayah yang punya kepedulian akan terus belajar cara-cara
terbaiknya. Hanya maut yang menghentikan jelajah belajar sang ayah.
Ketiga, kurangnya antisipasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Contoh sederhananya pada penjagaan aurat ayah dan ibu di tiga waktu: Sebelum
Shubuh, setelah Zhuhur, dan setelah Isya’. Jika kemudian ayah (dan juga ibu)
longgar dan terjadilah anak melihat apa yang dilakukan ayah dan ibu, maka dapat
dikatakan telah terjadi kelalaian. Maka langkah kuratif yang kini dibutuhkan. Bisa
jadi waktu yang diperlukan sangat lama, demikian pula energi yang dibutuhkan sangat
besar.
Contoh berikutnya adalah menyerahkan anak kepada
pengasuh dan pendidik. Sudahkah orangtua meneliti betul keseluruhan proses
pendidikan yang dijalankan? Sudahkah dikenali profil pengasuh dan pendidik?
Sudahkah dipahami bagaimana strategi menyelesaikan masalah? Sudahkah terbaca
ada atau tidak adanya tindakan kuratif atas masalah-masalah? Dan paling penting, sudahkah
orangtua membangun komunikasi lebih dekat kepada anak agar anak bisa bercerita
saat ada problema?
Ayah dan ibu perlu membangun kerangka berpikir
antisipatif yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena mudharat dari interaksi
antarmanusia dimanapun terutama tempat pendidikan perlu diminimalkan di satu
sisi, dan manfaatnya perlu dimaksimalkan. Ayah dan ibu perlu merancang
strateginya, tidak menyerahkan sepenuhnya kepada pihak lain sekalipun itu
pendidik atau pengasuh.
Bukan berarti ayah dan ibu bersuuzhan. Akan tetapi ada
kerangka berpikir antisipatif saat anak dididik di lembaga pendidikan. Situasi
terburuk bisa jadi terjadi. Sebelum itu terjadi, saat sinyal-sinyal terlah
terlihat, maka antisipasi perlu segera dilakukan.
Menyampaikan Prioritas Pendidikan dengan Strategi Komunikasi
Yang Tepat
Prioritas pendidikan di keluarga muslim adalah mengajak
keluarga menghindari neraka. Oleh karena itu kepekaan terhadap hal-hal merusak
perlu dikuatkan, terutama pada diri ayah. Di sisi lain kepekaan ini tidaklah
membuat ayah garang, segala sesuatunya disampaikan secara lugas kepada anak.
Tidak begitu. Akan tetapi ayah perlu menyampaikan dengan strategi komunikasi yang tepat. Bagaimana, kapan, dan dimana, kesemua unsur itu diperhatikan dengan seksama.
Demikian pula dengan pola asuh. Usia dan tahap
berpikir anak sangat penting untuk diperhatikan, sebagaimana jenis kelamin dan
karakter khas tidak diremehkan. Agar hati anak senantiasa merasakan
nyaman. Sehingga keyakinan bahwa ayah mengajak selamat terpatri kuat. Anak
tidak pernah merasakan keraguan untuk taat kepada ayah.
Dampak Prioritas Pendidikan Yang Benar terhadap Profesionalitas
Kembali disampaikan bahwa prioritas pendidikan anak
adalah menjaga anak dari siksa api neraka. Oleh karena itu ayah yang handal
akan membekali anak dengan berbagai bekal, minimal tiga bekal: Mindset, skillset,
dan toolset.
Ketiga bekal tersebut diharapkan dapat memperkokoh
jiwa anak sehingga tetap istiqomah dalam menghindari berbagai keburukan,
termasuk keburukan yang menghadang saat menjalankan amanah. Sehingga amanah
dapat diselesaikan dengan baik. Kualitas profesional berada di titik tinggi.
Bedanya dengan pembangunan kualitas profesional biasa,
pembangunan kualitas profesional ini dibangun dengan fondasi yang jauh lebih
kuat. Bukan keuntungan duniawi yang dikejar. Akan tetapi keuntungan ukhrawi yang
dicari, sesuatu yang lebih kekal dan mengakar kuat dalam jiwa. Maka dalam
perjalanan profesinya, sang anak dimungkinkan teguh dalam kebaikan. Alhasil sangat
dimungkinkan target-target profesional dapat digapai.
Mengenali Strategi Penyeru Neraka
Al-Qur’an surat Saba’ ayat 31-33 menyampaikan perdebatan
penyeru neraka dengan mereka yang terseret. Penyeru neraka diprotes oleh mereka
yang terseret. Penyeru neraka bertanya, “Kamikah yang telah menghalangi kalian dari
petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepada kalian? (Tidak), sebenarnya kalian
sendirilah orang-orang yang berdosa.”
Mereka yang terseret menjawab, “(Tidak), sebenarnya
tipu daya (mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami) ketika kamu
menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu
bagi-Nya.”
Dari percakapan tersebut dapat dipahami bahwa strategi
penyeru neraka bukanlah menghalangi orang untuk berbuat baik. Akan tetapi orang
dibiarkan berbuat baik, dengan disertai iming-iming berbuat buruk. Iming-iming
ini jauh lebih menggiurkan. Lebih dari itu, iming-iming berjalan sehari semalam
nonstop.
Nah anak yang tidak pernah dikenalkan dengan buruknya neraka
dan jalan-jalannya berkemungkinan besar terkena jeratan penyeru neraka ini. Anak
tetap berbuat baik, tapi pelan-pelan terbawa ke jalan buruk. Karena anak tidak pernah
dikondisikan untuk tegas menghindari keburukan.
Dalam berbagai rentang usia, dialog dan pembelajaran
tentang keburukan (neraka dan jalan-jalannya) perlu diberikan. Agar anak waspada.
Agar garis tegas bisa diambil. Agar jalan tetap lurus, hingga ke surga-Nya. Tak
ada belok ke neraka walau sekejap, baik neraka duniawi apalagi ukhrawi.
Pendidikan Keluarga Membangun Ketahanan Pendidikan Nasional
Keluarga telah mendidik anak dengan baik. Sehingga anak memiliki bekal yang cukup untuk belajar di sekolah. Selanjutnya sekolah menyempurnakan ikhtiar pendidikan ini.
Pemerintah perlu menjadi jembatan untuk keluarga dan sekolah berinteraksi dan bersinergi. Edukasi kepada keluarga, terutama ayah, perlu dilakukan berkelanjutan. Agar ayah memahami penyikapan terbaik kepada sekolah. Ayah bisa menelaah kebijakan sekolah dengan kritis di satu sisi, dan sinergis kuat di sisi yang lain.
Sinergi yang dimaksud mencakup aspek moral dan material. Pembiayaan pendidikan sangat sulit jika hanya diserahkan kepada sekolah. Ayah perlu memberikan dukungannya.
Problemnya selama ini ayah kurang bertandang di forum-forum sekolah bersama orangtua. Ada imej yang kuat, sekolah urusan ibu. Padahal penanggung jawab utama pendidikan dunia-akhirat adalah ayah.
Dengan edukasi yang tepat, semoga ayah berkenan mengambil peran langsung di aspek akademik anak. Hal-hal berkaitan dengan pekerjaan semoga bisa dikelola. Apalagi jika pemerintah memberikan fasilitasi yang cukup kepada ayah, semisal keringanan meninggalkan pekerjaan sejenak untuk mendatangi sekolah dalam rangka berforum.
Fasilitasi pemerintah yang juga penting adalah kemudahan mencari nafkah. Lapangan kerja yang luas, pengaturan pajak yang proporsional, serta minimnya korupsi semoga memperlancar keaktifan finansial ayah dalam mendukung pendidikan anak.
Terakhir bahwa penting bagi pemerintah untuk melakukan proteksi kepada segenap bangsa, terutama proteksi online. Pinjaman online, judi online, pornografi online, dan santet online sederet daftar yang perlu ditindaklanjuti pemerintah agar tidak menjelma menjadi patologi sosial akut. Agar orientasi bangsa ini tetap lurus dalam kebaikan.
Wallah a’lam bishshawab.
Fu’ad Fahrudin, guru di SDIT Al-Madinah Kebumen
Post a Comment