Header Ads

Masjid dan Literasi

Salah satu yang jarang dicari orang saat ke masjid adalah buku/kitab. Karena imej masjid sebagai pusat literasi mulai memudar. Paling tidak inilah gejala umum di Indonesia.

Di negeri lain yang penduduknya mulai lebih tertarik kepada Islam, masjid memainkan peran literasi yang penting. Selain referensi digital dan cetak, head to head communication bisa dilakukan. Perihal Islam tersampaikan dengan relatif lebih baik.

Adapun di Indonesia, karena mayoritas penduduknya muslim, pusat literasi tidaklah dimainkan masjid. Informasi bisa didapatkan dari mulut ke mulut. Apalagi sekarang dengan kecanggihan alat komunikasi, informasi lebih mudah disebarkan.

Satu hal yang kemudian kurang disadari oleh pengelola-pengelola masjid di tanah air adalah keseimbangan ilmu dan amal. Oleh karena itu, selain fasilitas munajat yang cukup, kehadiran buku/kitab diperlukan. Karena buku/kitab menjadi tumpuan ilmu pengetahuan.

Betul, kajian-kajian menjadi pintu ilmu. Akan tetapi perlu dimaklumi bahwa kajian-kajian yang ada lebih cenderung satu arah, jauh dari pengembangan etos ilmiah individual. Setelah kajian selesai, lanjutlah aktivitas pendengar masing-masing. Tidak ada misalkan aktivitas membuka referensi setelahnya, sebagai konfirmasi ilmiah.

Lebih menyedihkan lagi perpustakaan umum tidak lagi memadai sebagai sumber ilmu pengetahuan, apalagi keislaman. Jumlahnya menurun terus. Apalagi bicara sebaran, jauh dari merata.

Padahal umat ini mendapat perintah pertama, "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan" (Terjemah Q.S. Al-'Alaq: 1), namun etos ilmiah individualnya sangat lemah. Secara umum umat ini menggantungkan diri kepada para mubaligh. Hampir tidak ada pikiran bahwa dirinya harus mandiri secara pengetahuan, bahkan memberikan pencerahan kepada umat.

Akibatnya umat ini menjadi umat yang pasif. Maka tidak heran jika dalam banyak lapangan kehidupan, umat ini lebih banyak jadi objek. Hampir tidak terlihat perannya.

Dengan majunya teknologi digital saat ini, ada satu peluang. Masjid bisa memainkan diri kembali sebagai pusat literasi lewat perpustakaan digital. Cukup dengan QR code, buku-buku bisa dibaca. Lalu sangat dianjurkan agar pembaca memberi anotasi bahkan mereviu.  

Dalam rentang waktu tertentu DKM bisa memberikan reward untuk jamaah masjid yang telah mereviu buku. Tak perlu tebal-tebal, cukup misalkan 5 halaman yang dibaca sebagai bahan reviu. Reward juga bisa beraneka ragam, dari berbiaya murah hingga mahal.

Anak-anak bisa diminta merekam suara bacaan bukunya agar mendapatkan reward. Sekali lagi reward bisa beraneka ragam. Yang penting anak-anak menyukainya.

Jamaah bisa mengunduh kitab-kitab yang dikaji di majelis-majelis taklim masjid. Para mubaligh atau ustadz bisa juga memberikan tugas kepada jamaah untuk melakukan wacana pra-eksplanasi, membaca materi sebelum kajian. Agar pemahaman jamaah lebih mengakar.

Masjid sebagai pusat literasi perlu kembali dibangun. Agar umat ini menjadi aktif. Agar umat ini menjadi pembangun peradaban. Tidaklah menjadi subordinasi tapi setara dalam percaturan antarperadaban dunia.

Wallah a'lam.

Diberdayakan oleh Blogger.