Header Ads

Minimal Murah, Maksimal Gratis

Bukan berarti nggak mau ragat, tapi lebih kepada nilai fungsi dan kebutuhan. Buat apa fasilitas wah, namun justru menambah beban operasional sedangkan fungsinya tidak maksimal. Apalagi bila ada seseorang dalam suatu lembaga mengatakan bahwa dia akan berbuat begini dan begitu untuk memajukan tugasnya dengan embel-embel harus disediakan fasilitas pendukung ini dan itu. Maka bukanlah dia orang yang hebat, hanya numpang hebat. 

Sangat berbeda sekali bila seseorang itu memanfaatkan potensi dan fasilitas yang ada kemudian merubahnya menjadi lebih baik. Maka itulah orang hebat. Dari hal yang biasa menjadi luar biasa, atau pepatah mengatakan zero to hero. 

"Minimal murah, maksimal gratis," itu tentang nilai fungsi. Karena kebanyakan orang berfikir pada kemudahan fasilitas sehingga menyebabkan daya pikirnya melemah, kreativitas dan inovasinya mandek, bahkan tidak mampu survive dengan lingkungan. Bukan karena fasilitasnya yg bermasalah, tapi lebih karena sikap ketergantungan manusia mengandalkan fasilitas tersebut.

Di pesantren, pembelajaran santri lebih ditekankan pada nilai proses bukan hanya pada hasil yang dicapai. Karena pendidikan pesantren adalah proses menanamkan rasa kepercayaan diri dan tanggung jawab pada santri. Hasilnya akan terlihat ketika mereka terjun di tengah masyarakat nanti.

Semua aktivitas di pesantren adalah proses pembelajaran. Di pondok tidak ada petugas cleaning service, yang ada tugas piket kebersihan santri. Di pondok tidak ada fasilitas laundry, baju kotor ya cuci sendiri. Di pondok, santri tidak boleh membawa HP, tanpanya mereka tidak akan lebih mandiri. 

Di pondok makan pun harus antri, lauk tempe rasanya nikmat sekali. Di pondok ada kerja bakti, rame-rame jadi tambah happy. Di pondok tidak ada santri bermanja-manja, yang ada santri belajar mandiri, belajar mengatur hidupnya sendiri, belajar tidak gampang mengeluh dengan keadaan yang terjadi.

"Minimal murah, maksimal gratis," mendidik santri lebih mengedepankan kreativitas memanfaatkan sarana yang ada. Sehingga terciptalah inovasi, tidak harus mahal tapi fungsinya terpenuhi. Juga akan menanamkan sense of belonging, rasa memiliki terhadap pesantren, rasa untuk selalu menjaga dan merawatnya.

Santri yang terbiasa melakukan proses, secara tidak langsung, belajar menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Seringkali orang terjebak pada nilai-nilai kualitas di atas kertas semata. Anak dituntut untuk meraih rangking 1, mengecapnya anak yang kurang beruntung bila nila raportnya hanya rata-rata biasa saja. 

Kita menjaga proses pendidikan yang berjalan agar selalu lurus sesuai yang Nabi ajarkan, mendoakannya agar ilmu yang didapat menjadi keberkahan di akhirat. Kelak orang tualah yang akan memanen kebahagiaan, disematkan padanya mahkota surga dari anaknya penghafal Al-Qur'an, insyaalloh.


Ahmad Hamim, Co-founder Pesantren Rooihatul Jannah Sukoharjo. 




Diberdayakan oleh Blogger.