Header Ads

Menguatkan Literasi dengan Bahasa Ibu

Dalam sebuah kelas, guru mengajak murid-murid berbincang dalam bahasa Indonesia. Sebagian murid terlihat canggung. Ada semacam pembatas mental yang membuat mereka tidak mudah mengekspresikan pikirannya.

Akhirnya sang guru menggunakan jurus lain. Ia mengajak bincang dalam bahasa daerah setempat. Sesantun mungkin ia bertutur. Kali ini ia mendapatkan respon yang lebih baik. Sebagian besar murid terlihat tidak hanya mampu merespon verbal tapi juga gestural.

Bagi sebagian murid, terutama di pedesaan, bahasa daerah sebagai bahasa ibu merupakan alat komunikasi utama. Akses informasi dan komunikasi yang lebih baik saat ini belum mampu menggeser peranan bahasa daerah dalam interaksi antarmereka ataupun interaksi dengan orang yang lebih dewasa. Bagi mereka, bahasa daerah tidak sekedar alat bertutur tapi juga cara berpikir dan bersikap.

Menghadapi kenyataan ini, sangat baik jika guru menerima eksistensi bahasa daerah. Selanjutnya guru memberikan ruang bagi penggunaan bahasa daerah di kelas. Bincangan dan pemberian instruksi dapat diberikan dalam bahasa daerah.

Tentu saja penggunaan bahasa daerah bukanlah sesuatu yang permanen. Karena bagaimanapun standarisasi bahasa formal perlu diperhatikan. Hanya saja dalam situasi sebagian besar murid masih nyaman dengan bahasa daerah, guru secara perlahan melakukan transisi dari bahasa daerah ke dalam bahasa formal standar.

Transisi ini menjadi sangat penting pada tingkat pendidikan anak usia dini hingga kelas bawah sekolah dasar. Dengan menggunakan bahasa daerah, diharapkan murid mampu menyerap ide dan informasi dari guru. Selain itu murid juga mampu memberikan respon yang proporsional dan mengungkapkan idenya secara runtut.

Salah satu resiko pengabaian bahasa daerah di kelas adalah alienasi kehidupan sosial murid dari pembelajaran formal. Terjadi pemisahan dalam benak murid bahwa kehidupan sosial satu ruang sosial tersendiri, sebagaimana pembelajaran di kelas juga ruang sosial tersendiri. Padahal konsep pembelajaran yang baik menggunakan modal pengetahuan murid dari rumah. Namun ini sangat sulit terjadi jika alienasi sudah terjadi.

Dalam jangka panjang, terjadi alienasi intelektual. Orang intelek dicirikan dengan bahasa formal standar. Sementara orang yang berbahasa tidak formal standar semisal bahasa daerah dianggap tidak intelek. Ada judgement sedemikian rupa, abai pada sejarah intelektualiasasi yang panjang dengan bahasa daerah sebagai penghela.

Harus diakui bahwa penggunaan bahasa daerah dalam pembelajaran tidak selalu mudah bagi guru. Karena tidak semua guru disiapkan dengan framework ini. Sebagiannya disiapkan dengan bahasa formal standar.

Penyebab lainnya adalah kemampuan berbahasa daerah guru. Sejumlah guru kesulitan berbicara dengan bahasa daerah langgam halus. Kenyamanan berbahasa daerah langgam pergaulan sebaya lebih kuat. Padahal bincang guru dengan murid direkomendasikan berbahasa daerah langgam halus. Agar marwah guru terjaga.

Penyebab lainnya kesalahan konsepsi guru tentang literasi. Guru memahami bahwa literasi sekedar baca dan tulis. Sehingga murid perlu diantarkan berliterasi dalam bahasa formal standar. Padahal pengenalan huruf hanyalah satu dari enam fondasi keterampilan literasi. Dapat diprediksi di kemudian hari, murid dapat membaca dan menulis tapi minim kemampuan literasi. Lima fondasi keterampilan literasinya tidak terbangun: Kemampuan bertutur, pengetahuan latar, kesadaran cetak, ponemik, dan kosakata.

Seiring waktu, literasi anak tumbuh melambat sementara bahasa daerah teralienasi. Bahkan bagi sebagian pihak, bahasa daerah perlu ditinggalkan karena memperlambat literasi. Miskonsepsi ini sangat membahayakan bangunan budaya bangsa. Bahwa keberagaman dianggap menghambat, harus disubordinasi oleh satu sentral.

Oleh karena itu penting kiranya guru melakukan refleksi. Betapa bahasa daerah sebagai bahasa ibu penting. Ia akhirnya terdorong memperdalam dan mengaplikasi kembali.

Apalagi di masyarakat seorang guru dipandang bijaksana. Sementara kebijaksaan lebih banyak terbangun saat alat komunikasi harian antarindividu sama, satu bahasa. Jika guru abai dengan bahasa daerah, maka status sosialnya akan menurun. Ia tidak lagi dianggap orang bijaksana, hanya orang penuh teori. Perubahan positif semakin sulit dimotori oleh guru.

Wallah a’lam. 



Fu'ad Fahrudin, Guru SDIT Al-Madinah Kebumen 

Diberdayakan oleh Blogger.