Cinta Yang Takwa
Oleh : Fu’ad Fahrudin
"Kekasih-kekasih (teman-teman akrab) pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain kecuali mereka yang bertakwa.” (Terjemah Q.S. Az-Zukhruf: 67)
Ayat tersebut relatif pendek. Akan tetapi apa yang dikandungnya mungkin sangat dalam. Apalagi ayat ini berbicara tentang sesuatu yang penting dan mendasar dalam kehidupan manusia, tentang sebuah energi yang begitu besar: cinta. Semoga dengan mendalami ayat ini, setiap orang menuju dermaga cinta yang benar.
Dermaga itu ditandai dengan bahagia, jiwa dan raga, rasa dan logika, hati serta budi.
Pertama,
dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa cinta itu ada. Buktinya ada pecinta,
kekasih, teman akrab, atau sebutan
apapun yang sejenis.
Mereka terikat dalam
satu ikatan yang abstrak dan kuat. Dalam ikatan itu,
mereka saling memberi bahkan berkorban. Tak jarang pengorbanan yang diberikan
sedemikian dahsyat. Orang-orang menyebutnya dengan pengorbanan cinta.
Kedua,
pecinta itu dapat menjadi musuh di satu waktu. Jika di satu saat pecinta itu
saling menyayangi dan memberi, maka di waktu lain bisa jadi saling bermusuhan.
Saat itu, mungkin goncangan dahsyat terasa sedemikian rupa. Karena setelah lama
cinta terjalin dan keindahan cinta terasakan, perubahannya bisa seratus delapan
puluh derajat. Kini yang ada adalah kebencian, kemarahan, dan mungkin saling
menghujat serta menggugat. Perih, satu kata itu mungkin yang paling bisa
mewakili.
Ketiga,
memilih orang yang dicinta itu boleh bahkan mungkin harus. Karena orang yang
dicinta akan mendapatkan pemberian bahkan pengorbanan cinta. Jika sampai
seseorang salah memilih orang yang dicinta, bisalah terjadi air susu dibalas
air tuba. Oleh karena itu, berdoa agar diri ditautkan dengan cinta yang benar
dapat dilakukan jauh-jauh hari sebelum sekuntum bunga cinta mekar di taman
hati.
Jika ada cinta kepada orang yang salah, maka di sinilah
pengelolaan cinta diperlukan. Lagi, berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala merupakan
jalan utama. Karena
Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa termasuk dalam
pembolak-balikan hati.
Berikutnya hati dikelola agar cinta tersebut
bisa hilang perlahan. Ini rumit, butuh
waktu, dan butuh energi.
Mungkin teman diperlukan untuk membantu. Tak masalah, asalkan sang teman bisa
dipercaya.
Keempat,
kriteria orang yang dicinta -dan juga mungkin akan memberi cinta- perlu
ditetapkan dengan seksama. Karena orang yang dicinta diharapkan bisa menyertai
perjalanan menyusuri waktu dengan penuh gembira. Karena tidaklah luka diharap.
Jika pun harus ada, semoga luka segera terobati.
Kelima,
bisa jadi cinta ada batasnya. Sebagaimana telah disampaikan, ada masanya cinta
tidak melahirkan damai. Pecinta saling bermusuhan. Jika kemudian permusuhan itu
tak terhenti, saat itulah cinta berakhir.
Keenam,
akherat ternyata tak hanya menguji amal tapi juga cinta. Cinta yang baik akan
membawa para pecinta kepada kedamaian. Cinta yang buruk akan membawa pecinta
kepada gejolak.
Ketujuh,
cinta yang baik adalah cinta berbasis takwa. Cinta ini, dalam sebuah tafsir,
mengajak pecinta ke arah ketaatan
dan menjauhi maksiat. Cinta ini mengajak untuk mendekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bukan menjauh dari-Nya.
Cinta ini mengajak
pecinta untuk berkumpul di
pusat-pusat kebaikan untuk selanjutnya menyebarkan kebaikan-kebaikan ke mana
pun yang dimungkinkan, bukan berkumpul di pusat-pusat keburukan untuk
selanjutnya menyebarkan keburukan.
Kedelapan,
ada cinta yang buruk. Cinta jenis ini mengajak manusia untuk berbuat buruk.
Mungkin terlihat nikmat tapi sesaat. Setelah itu, derita mendera. Mungkin waktu
deritanya berkepanjangan bahkan hingga maut menjemput, na’udzubillah.
Kesembilan, hendaklah
manusia, terutama muslim,
mengingat adanya cinta
yang buruk dan mungkin palsu.
Manis yang ditawarkan tapi pahit yang diberikan. Penuh dusta, inilah cinta yang
berkebalikan dengan takwa.
Kesepuluh,
cinta berbasis takwa itu tak terbatas. Karena ketakwaan tak terbatas, menjiwai
seluruh kebaikan yang ikhlas dan syar’i. Pembatasan dalam cinta merupakan
kebalikan dari cinta berbasis takwa semisal cinta antara lelaki dan wanita.
Cinta berbasis
takwa merangkul semua kebaikan hubungan
dan interaksi sosial:
cinta suami- istri, cinta orangtua-anak, cinta guru-murid, cinta sesama
rekan kerja, ataupun cinta para pecinta amal shaleh.
Cinta berbasis
takwa tak membatasi
ras dan warna kulit. Karena
takwa tak melihat
itu semua tapi jauh lebih substantif, pada buah-buah kebaikan.
Bahwa siapapun yang berbuat baik, dialah
yang terhubung dengan cinta yang takwa.
Karena
cinta yang takwa tak terbatas, siapapun dapat merasakannya dan menjadi bagian
darinya, insya Allah. Sehingga kemudian kenyamanan tercipta, damai begitu
terasa.
Kesebelas,
barangsiapa yang hatinya resah, mungkin hatinya sepi dari cinta yang takwa.
Akibatnya hatinya penuh gejolak. Ada gejolak iri dengki, kesombongan,
ketidakrelaan terhadap takdir, dan gejolak keburukan lainnya.
Jika
sudah seperti ini, maka hidup jauh dari damai. Selayak angin yang menghentak
dari berbagai arah. Rasanya tak ada lagi harapan untuk menggapai damai.
Selain
gejolak, keterdidihan juga terasa di hati. Ini terjadi karena ada keinginan
kuat menggapai hal-hal duniawi
tapi tak mampu kedua tangan
menggapai. Akhirnya hati hanya bisa memanas, hari demi hari. Mungkin
sejuknya pegunungan tak akan berarti.
Kedua
belas, ekspresi cinta memiliki kerangkanya yang khas. Tidak semua jalan bisa
ditempuh. Hanya kebaikan yang bisa dijadikan ekspresinya. Mengucapkan salam,
mengucapkan doa bahkan
doa tersembunyi, dan memberi hadiah
merupakan ekspresi-ekspresi
cinta yang dianjurkan.
Berbuat haram
tetap dilarang. Cinta tak bisa dijadikan alasan.
Karena cinta yang baik, cinta yang takwa, tak pernah mengajak
pemiliknya kepada keburukan. Cinta yang takwa menjaga pemiliknya agar
senantiasa dalam kebaikan. Sehingga dalam cinta yang takwa, semoga hanya ada damai.
Ketiga
belas, tetap perlu cinta dimaknai sebagai jalan. Ia dititi dan memiliki ujung.
Ada ujung yang bahagia, ada yang sengsara. Logika perlu dijaga. Jika tidak,
logika bisa buta. Saat itu, walaupun ujung cinta yang buruk sudah terlihat,
jalan cinta bisa jadi terus dititi. Saat seorang pecinta sudah terjerumus pada
duka, ia hanya menjerit. Tak ada lagi yang bisa dilakukan, tragis.
Na’udzubillah.
Keempat
belas, hendaklah setiap orang belajar cinta. Agar seluk-beluk cinta dipahami.
Sehingga ketersesatan dalam cinta bisa dihindari. Bahkan cinta dapat menjadi
kereta menuju bahagia. Tanpa pengetahuan yang cukup, ketertipuan atas nama
cinta bisa menerpa.
Ketiga
belas, belajar cinta bukanlah sesuatu yang tercela. Bahkan jika perlu, ada guru
yang mengajari cinta. Karena dalam perjalanan usia, persoalan cinta bisa jadi
semakin membelit. Dengan belajar cinta dari ahlinya, semoga seseorang menjadi
pecinta yang ulung.
Kelima belas, Allah subhanahu wa ta’ala adalah poros hidup, poros cinta, dan sekaligus orientasi cinta yang benar. Saat seseorang meletakkan cintanya pada poros duniawi, misalnya, kemungkinan besar ia akan lelah. Misalnya seseorang menjadikan kendaraan sebagai poros cinta, mungkin tak lama ia bosan. Kendaraan berganti baru setiap saat, namun sebentar saja ia jemu. Jika tidak demikian, mungkin ia terus akan berpacu untuk memiliki kendaraan baru, tak mau kalah dengan orang lain.
Jika
seseorang memoroskan cintanya pada uang, sama, mungkin ia akan lelah. Karena
sekian upaya dilakukan, jumlah yang diharapkan tak tergapai. Belum lagi lelah
yang dirasakan dalam menggapai
uang. Belum lagi kompetisi dalam berbanyak-banyak uang. Jika pun ia menjadi
juara, mungkin ia akan kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya. Mungkin
keluarganya menjadi jauh, atau keluarganya menjadi materialistis. Bisa juga
kesehatannya merapuh. Bisa juga hubungan sosialnya merenggang.
Poros
lainnya yang juga berpotensi bahaya adalah diri sendiri. Seseorang menjadikan
dirinya sedemikian layak untuk dikagumi seluruh dunia. Ia tak merasa bahwa
dirinya penuh kekurangan. Ia selalu
ingin agar orang lain kagum
dan memujanya. Dan ia bisa kelelahan dalam upaya itu. Kelelahan itu bahkan
bisa terasa sangat dalam.
Bisa
juga seseorang memoroskan cintanya kepada orang yang dicintanya. Kemanjaan
diberikan, apapun dipersembahkan. Bahkan aturan Allah subhanahu wa ta’ala bisa
dilanggar. Mungkin ada yang dilupakan bahwa manusia memiliki
batas. Ada batas waktu yang membatasi
kebersamaan. Ada batas akal yang bisa membuat tidak saling paham. Ada batas
sabar yang bisa melahirkan bosan. Ada batas
ketahanan terhadap godaan yang bisa memalingkan.
Allah
subhanahu wa ta’ala, Dialah Maha Kuasa. Sehingga layaklah Dia jika menjadi
poros cinta. Segala tergerak
karena-Nya dan sekaligus
menuju-Nya. Dia akan menghibur saat seorang
pecinta letih. Dia akan mendengar saat pecinta berdoa. Dia akan menyiapkan
balasan atas segala kebaikan cinta.
Memporoskan
cinta kepada-Nya berarti mengharapkan balasan hanya dari-Nya. Balasan material hanyalah
bagian dari kabar gembira. Lebih
dari itu, ada cinta-Nya yang indah, damai, menggugah dan menggerakkan. Sebuah cinta yang sungguh didamba
setiap manusia. Wallahu a’lam.
Fu’ad Fahrudin, Sekjen DPW Hidayatullah DIY-Jatengbagsel
Post a Comment