Header Ads

Cinta Dunia dan Kemunduran Umat Islam


Oleh: 
Dr. Alwi Alatas

UMAT Islam mengalami beberapa kali kemunduran di dalam perjalanan sejarahnya, baik kemunduran yang bersifat parsial di kawasan tertentu dunia Islam maupun kemunduran yang lebih bersifat menyeluruh seperti yang berlaku dalam beberapa abad terakhir ini. Para ulama dan pemikir melihat persoalan ini dari beberapa sisi dan berusaha menawarkan jawaban tentang penyebab kemunduran serta solusinya.

Tulisan kali ini akan mendiskusikan tentang persoalan “cinta dunia” (hub al-dunya) sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran umat Islam. Dalam pandangan Islam, cinta dunia adalah satu bentuk penyakit (ruhani) yang perlu dihindari.

Perlu ditegaskan bahwa cinta dunia tidak identik dengan keadaan memiliki dunia (kaya, berkuasa, dan yang semisalnya). Dan sebaliknya, solusi bagi persoalan ini, yaitu sikap zuhud, tidak harus bermakna tidak memiliki dunia (miskin, tertindas, dan yang semisalnya).

Seperti yang pernah dikatakan oleh Nuruddin Mahmud Zanki, Sultan di Suriah pada pertengahan abad ke-12, “Sesungguhnya zuhud adalah kosongnya hati dari dunia, bukan kosongnya tangan dari dunia” (wa innamā al-zuhd khuluwwu-l-qalb min mahabbat al-dunyā lā khuluwwu-l-yadd ᶜanhā) (Abū Shāma, 2022: I/100).

Demikian pula kemunduran yang dimaksudkan di sini tidak melulu bermakna ketertinggalan dalam hal materi, tetapi ia juga bermakna kekacauan dan perpecahan internal serta keadaan dikuasai oleh pihak lain.

Persoalan cinta dunia sebagai penyebab kemunduran umat telah disebutkan oleh sebagian ulama, baik secara langsung maupun tidak, sebagaimana akan dijelasan di bawah. Namun ada juga tokoh Muslim lainnya yang memiliki pandangan berbeda.

Para reformis Muslim yang muncul di abad ke-19, misalnya, lebih menekankan pada tercemarnya agama (dengan perilaku bid’ah) dan ketertinggalan umat dalam aspek-aspek duniawi (seperti keunggulan sistem politik, industri dan kemajuan ekonomi) sebagai faktor-faktor yang berkaitan dengan kemunduran dan kemajuan.

Mereka menaruh perhatian terhadap kemajuan peradaban Barat yang sebenarnya merupakan kemajuan yang bersifat duniawi dan mendorong umat Islam untuk mempelajari ilmu-ilmu umum yang dapat membantu mereka untuk mengejar ketertinggalan yang ada.

Sebagai contoh, Rifa’a al-Tahtawi (w. 1873), ulama al-Azhar yang sempat bertugas di Paris, menjelaskan kembali tentang fungsi pemerintahan di dalam Islam, yang salah satunya adalah mensejahterakan masyarakat. Hanya saja, ia memberi makna tambahan bagi fungsi kesejahteraan, yang berkaitan dengan konteks kemajuan Eropa ketika itu, yaitu peranan pemerintah dalam hal pertumbuhan ekonomi serta kemajuan (progress) dalam hal pertanian dan lainnya (Hourani, 1983: 77).

Perhatian terhadap kemajuan duniawi semacam ini tentu saja tidak harus diartikan bahwa para reformis di era modern menganjurkan umat untuk mencintai dunia dan meninggalkan zuhud. Zuhud, bagaimanapun juga, merupakan ajaran agama yang penting. Hanya saja, sebagaimana ditulis oleh Muhammad Abduh (1966: 137-138),  perlu juga untuk diperhatikan “semangat yang darinya kehidupan bangsa-bangsa bangkit, menerangi kesejahteraan mereka yang sebenarnya di dunia ini di sini dan sekarang, sebelum dunia yang berikutnya tercapai.”

Terlepas dari apa yang dibincangkan di atas tadi, beberapa akademisi Muslim di masa lalu menyinggung tentang bahaya mencintai dunia dan dampaknya bagi kerusakan dan menunduran masyarakat Muslim.

Imam al-Ghazali (2011: IV/704-705) mengisyaratkan bahwa ulama merupakan pilar masyarakat. Rusaknya para ulama berpotensi untuk membuat para penguasa rusak, dan jika penguasa rusak maka masyarakat juga rusak. Adapun sebabnya ulama menjadi rusak adalah karena mereka mencintai dunia, sehingga mereka tidak mampu lagi memberikan bimbingan atau meluruskan masyarakat, apalagi penguasa. Mereka tidak mampu bicara untuk meluruskan penyimpangan, karena hati dan lisannya sudah tercemar oleh dunia. Kalaupun mereka berbicara, maka tidak akan ada pengaruhnya.

Ibn Khaldun menggunakan teori asabiyah untuk menjelaskan tentang muncul dan jatuhnya dinasti-dinasti di dalam peradaban Islam. Asabiyah merupakan ikatan darah atau yang sebanding dengannya. Ini merupakan solidaritas sosial (social bond) atau perasaan kelompok (group feeling) yang umumnya dimiliki secara kuat oleh suku-suku nomaden dan semi nomaden, karena mereka memerlukan solidaritas ini sebagai bentuk perlindungan terhadap potensi ancaman dari luar.

Asabiyah membuka peluang bagi suatu kumpulan dan kepemimpinan di dalamnya untuk mengambil alih otoritas kekuasaan, sehingga terbentuklah suatu dinasti politik yang baru. Dinasti ini mungkin akan bertahan selama tiga atau empat generasi. Biasanya kepemimpinan generasi yang belakangan akan melemah, begitu pula dengan asabiyah di kalangan pendukungnya, sehingga dinasti tersebut akan jatuh ketika ada kelompok asabiyah baru yang siap menggantikannya.

Tapi apa sebabnya asabiyah menjadi rusak dan dinasti akhirnya runtuh?

Menurut Ibn Khaldun, ketika suatu kelompok berkuasa, mereka mulai terdedah kepada kekayaan dan kemewahan. Kemewahan adalah musuh bagi asabiyah dan hal yang akan melemahkannya.

“Anggota suku [yang berkuasa] bersenang-senang dalam kesejahteraan yang Allah berikan kepada mereka. Anak -anak dan keturunan mereka tumbuh terlalu bangga untuk menjaga diri mereka sendiri atau memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Mereka juga merasa jijik terhadap segala hal lainnya yang diperlukan sehubungan dengan asabiyah. Ini akhirnya menjadi sifat karakter dan karakteristik alami mereka. Asabiyah dan keberanian mereka menjadi berkurang pada generasi berikutnya. Akhirnya, asabiyah ini sama sekali hancur. Dengan begitu, mereka mengundang kehancuran diri mereka sendiri. Semakin gemerlap kemewahan mereka dan semakin mudah kehidupan yang mereka nikmati, semakin dekat mereka dengan kepunahan, belum lagi (hilangnya kesempatan mereka untuk mendapatkan) otoritas kerajaan.” (Ibn Khaldun, 1958: I/287).

Penjelasan Ibn Khaldun di atas menunjukkan bahwa anggota suku yang berkuasa itu bukan semata berada dalam kemewahan, tetapi juga mencintai dan dipengaruhi olehnya.

AL-Ghazali dan Ibn Khaldun memberi penjelasan dengan sudut pandang yang berbeda, tetapi keduanya sama-sama menunjukkan potensi merusak dari kemewahan duniawi. Al-Ghazali menunjukkan dampaknya saat penyakit itu mencemari para ulama, sementara Ibn Khaldun memperlihatkan pengaruh kerusakannya pada kelompok yang berkuasa (umara). Pada akhirnya, masyarakat juga akan ikut merasakan akibatnya.

Boleh jadi satu dinasti Muslim jatuh dan digantikan oleh dinasti Muslim lainnya, sehingga kerusakan dan kekacauan yang menimpa masyarakat Muslim mungkin tidak terlalu panjang. Namun, sebagaimana diterangkan oleh Malik Bennabi (1998: 30), hal ini dapat juga menyebabkan masyarakat Muslim akhirnya dijajah oleh bangsa lain yang bukan Muslim, seperti yang mereka alami di era kolonialisme Barat.

Ini pula yang terjadi di Andalusia di masa lalu. Dinasti demi dinasti mengalami kemerosotan yang serius sejak abad ke-11, dikeroposi oleh kemewahan dunia. Mereka kemudian dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Kristen di utara Semenanjung Iberia. Sedikit demi sedikit, sehingga tidak ada lagi yang akhirnya tersisa.

Ide ini terdengar seperti sebuah paradoks. Cinta dunia justru menyebabkan kemunduran dan kekalahan di dunia, sementara zuhud merupakan obat yang dapat menimbulkan kebangkitan dan kemenangan. Tapi memang ada fakta-fakta sejarah yang mendukungnya, Setidaknya ini tampak jelas di dalam beberapa bagian sejarah umat Islam.

Bagaimanapun, penyakit cinta dunia bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan kemunduran. Ia juga mungkin lebih mudah untuk digunakan dalam menjelaskan sejarah umat Islam ketimbang masyarakat lainnya.

Muslim sejatinya adalah penduduk akhirat. Mereka bukanlah penduduk dunia (ahl al-dunya), dalam arti mereka menyadari bahwa dunia bukan tujuan akhir dan keberadaan mereka di dunia adalah dalam rangka kehidupan di akhirat.

Hal ini memungkinkan mereka untuk menjadi disiplin saat mendapat peluang memimpin dan mengendalikan dunia. Tetapi saat hati mereka dikuasai oleh dunia, mereka pun mulai kehilangan arah, menjadi lembek serta kehilangan solidaritas dan kepemimpinannya. Wallahu a’lam.*

Penulis dosen International Islamic University Malaysia (IIUM)

  • Daftar Pustaka
  • Abduh, Muhammad. 1966. The Theology of Unity. London: George Allen & Unwin.
  • Abū Shāma. 2022. Kitāb al-Rawḍatayn fī Akhbār al-Dawlatayn. Beirut: Dār al-Kutub al-ᶜIlmiyya.
  • Bennabi, Malik. 1998. On the Origins of Human Society (Trans. Mohamed Tahir El-
  • Mesawi). London: The Open Press.
  • Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid Muḥammad. 2011. Iḥyā’ ꜥUlūm al-Dīn. Vol. 4. Jeddah: Dār al-Minhāj.
  • Hourani, Albert. (1983). Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Ibn Khaldun. 1958. The Muqaddimah: An Introduction to History, Vol. 1 (Trans. Franz Rosenthal). New York: Bollingen Foundation.

Rep: Admin Hidcom
Sumber : www.hidayatullah.com

Diberdayakan oleh Blogger.